Labbaik Allohumma Labbaik

Labbaik Allohumma Labbaik
Ziarah ke Baitullah

Senin, 24 Desember 2018

Fatwa Ulama Buya Hamka soal Ucapan Natal !


Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka lebih memilih mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketimbang mencabut “Fatwa haramnya mengucapkan selamat Natal dan ikut merayakannya.”
“Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Harian Pelita,” kata Buya Hamka saat berkhutbah di Masjid Al-Azhar semasa hidupnya.
Buya Hamka mengingatkan kaum Muslimin, bahwa kafir hukumnya jika mereka mengikuti perayaan natal bersama.
Fatwa haram Buya Hamka tentang ucapan Natal dan merayakannya, membuat Presiden Soeharto meminta beliau agar mencabut fatwa itu, dengan dalih kemajemukan Bangsa Indonesia, demi menjaga kerukunan Umat beragama. Lantas apa yang dilakukan Buya Hamka? Apakah beliau mencabut fatwa MUI? Tidak! Beliau memilih mengundurkan diri menjadi Ketua MUI ketimbang mencabut Fatwa haram mengucapkan Natal dan ikut merayakannya.
Sementara itu Kristolog Insan LS Mokoginta, juga menuturkan, bahwa tanggal 25 Desember sebenarnya bukanlah hari kelahiran Yesus. Ini merupakan taktik teologis orang-orang Kristen pada masa lalu agar agama Kristen diterima oleh orang-orang Romawi Kuno yang selalu memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada tanggal 25 Desember.
Beliau melanjutkan, sebenarnya kelahiran Yesus adalah tanggal 1 Januari, makanya dinamakan Tahun Masehi, mesiah atau Al Masih. Karena jarak yang tidak terpaut jauh antara 25 Desember dengan 1 Januari, maka ucapan itupun disandingkan. Karenanya, bagi umat Islam sangat fatal jika ikut-ikutan mengucapkan kedua hari raya itu.
Saat ini fatwa Ulama Besar Buya Hamka mulai dilupakan. Termasuk pejabat, dan sebagian tokoh aktivis Islam. Sebagian dari mereka malah menghalalkan ucapan Natal atas nama toleransi beragama. Bahkan menuduh umat Islam yang tidak mengucapkan selamat Natal sebagai kelompok yang intoleran.
Ustadz Insan LS Mokoginta memberikan tips kepada umat Islam yang bersentuhan dengan Umat Kristiani apabila harus mengucapkan sesuatu ketika momentum itu hadir, baik lewat sms ataupun secara lisan. Ungkap beliau, kita jangan mau mengucapkan “Selamat Hari Natal”, tapi ucapkanlah “Semoga Allah Memberimu Hidayah pada hari ini!”.
Menurut Kristolog asal kelahiran Manado ini, bahwa do’a tersebut akan menjadi senjata bagi kita Umat Islam. Karena mendo’akan orang diluar Islam agar mendapat hidayah diperbolehkan asal masih hidup. Seperti yang pernah Rasul lakukan ketika mendo’akan agar Islam diperkuat oleh kekuatan Umar atau Abu Jahal.
Di hadapan penguasa, Hamka bicara tegas menolak upaya-upaya Kristenisasi. Ia juga tegas melarang umat Islam mengikuti perayaan “Natal Bersama” yang menggunakan kedok toleransi.
Buya Soal Kristenisasi
Suatu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1969, dua orang perwira Angkatan Darat datang menemui Buya Hamka. Keduanya membawa pesan dari Presiden Soeharto, agar Hamka bersedia memberikan khutbah Ied di Masjid Baiturrahim, komplek Istana Negara, Jakarta.
Hamka terkejut, karena disamping permintaan tersebut mendadak, ia heran mengapa istana memilihnya menjadi khatib, padahal pada waktu itu ia dikenal sebagai ulama yang dalam setiap ceramahnya selalu tegas mengkritik upaya-upaya Kristenisasi. Maklum, pada masa-masa awal Orde Baru, gurita Kristenisasi mulai membangun jejaringnya. Baik di tingkat elit kekuasaan, maupun aksi-aksi di lapangan.
Atas saran dan dukungan umat Islam, Buya Hamka akhirnya bersedia memenuhi permintaan istana. Umat ketika itu berharap, ulama asli Minangkabau ini bisa menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada para pejabat, terutama dalam menyikapi maraknya Kristenisasi. Inilah kali pertama Hamka, seorang mantan anggota Partai Masyumi, berkhutbah di Istana.
Dari atas mimbar, ulama yang juga sastrawan ini menguraikan tentang bagaimana toleransi dalam pandangan Islam. Islam sangat menghargai agama lain, dan tak akan pernah mengganggu akidah agama lain. Di hadapan Presiden Soeharto dan para pejabat Orde Baru, Buya Hamka menegaskan secara lantang, “Tapi kalau ada usaha orang supaya kita berlapang dada, jangan fanatik, lalu tukarlah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu dengan tuhan yang maha tiga, atau berlapang dadalah dengan mengatakan bahwa Nabi kita adalah nabi palsu dan perampok di padang pasir, atau kepercayaan kita kepada empat kitab suci; Taurat, Zabur, dan Injil dan Al-Qur’an, lalu disuruh berlapang dada dengan mendustakan Al-Qur’an, maaf, seribu kali maaf, dalam hal ini kita tidak ada toleransi!” tegasnya.
Buya Hamka juga menyampaikan bahaya Kristenisasi ia sampaikan di mimbar-mimbar dakwah dan media massa. Melalui Majalah Panji Masyarakat, Buya Hamka membahas bahaya Kristenisasi, modernisasi dan sekularisasi. Dalam rubrik “Dari Hati ke Hati” yang dikelolanya, Buya Hamka juga menjelaskan soal prinsip toleransi dalam Islam.
Dalam setiap kesempatan khutbah, Buya Hamka yang prihatin dengan gurita kristenisasi yang sedang menggeliat ketika itu, bersuara lantang di hadapan umat agar mewaspadai sepak terjang kelompok Kristen yang berusaha memurtadkan kaum Muslimin.
“Modernisasi bukan berarti westernisasi, dan bukan pula Kristenisasi,” demikian ketegasan yang sering diulang-ulang oleh Hamka ketika ditanya para wartawan. Dalam setiap khutbah di Masjid Al-Azhar, Jakarta, Hamka juga menegaskan bahwa misi zending Kristen yang sedang bergeliat pada masa itu telah dirasuki dendam Perang Salib untuk menghabisi umat Islam. “Kristen lebih berbahaya dari Komunis,” ujar Hamka.
Ketegasan Buya Hamka terhadap bahaya Kristenisasi kembali ia sampaikan di hadapan penguasa Orde Baru, ketika Buya menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam rapat dengan Presiden Soeharto pada 1975, Buya Hamka menerangkan di hadapan Presiden tentang fakta-fakta Kristenisasi yang bergeliat setiap hari di masyarakat, dengan berbagai bujukan dan iming-iming materi yang menggiurkan.
Hamka juga menyampaikan keprihatinannya tentang berdirinya Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi, sebagai upaya terang-terangan dalam mengkristenkan masyarakat minang lewat cara pengobatan. Kepada Presiden Soeharto, Hamka mengusulkan agar rumah sakit itu dibeli dan diambil alih pemerintah agar bisa dikelola dengan semestinya. Soeharto setuju dengan usulan tersebut, bahkan dengan terang-terangan menyatakan tidak sukanya pada Kristenisasi tersebut.
“Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah akidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik,” terang Hamka. “Ingat dan katakan pada kawan yang tak hadir di sini, itulah akidah kita!” tegasnya di hadapan massa kaum Muslimin.
Keteguhannya dalam memegang fatwa haramnya natal bersama inilah yang kemudian membuatnya mengundurkan diri dari Ketua Majelis Ulama Indonesia. Tak berapa lama setelah fatwa itu dikeluarkan (dikeluarkan pada 1 Jumaidil Awal 1401 atau 7 Maret 1981), kemudian pada 24 Juli 1981, Buya Hamka wafat menghadap Allah SWT.


dari : JAKARTA (Panjimas.com) –

WONG FEI HUNG ( MUSLIM UIGHUR )



Hanya 20 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam tiba di Uighur, Xinjiang, perbatasan Cina, 3.000 km jauhnya dari Mekah. 
Kaisar Tang, Cina, menawarkan perdamaian, ditandai dengan diterimanya utusan, sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqqash ra di pusat kerajaan Cina.
Uighur bergabung dalam daulah Islam di masa Utsman bin Affan ra., dari Uighur inilah teknologi kertas pindah dari Cina ke negeri muslim, sehingga dimulailah penyusunan mushaf Quran Utsmani.
Selama 1.400 tahun Uighur tetap menjadi negeri muslim, walaupun pernah dikuasai Mongol di abad 13 M, bahkan di era imperialis Eropa yang menjajah Cina, para jago kungfu Uighur, Xinjiang ikut terlibat dalam perlawanan mengusir penjajah Eropa, salah satunya dalam tragedi the Boxer, dimana banyak jagoan kungfu Uighur menghabisi tentara gabungan Inggris-Eropa di kota-kota Cina tahun 1900an.
Ketika Mao komunis terusir dari kota-kota Cina tahun 1940an, ia lari ke Xinjiang, menumpang hidup di wilayah Uighur.
Kini komunis berbalik, menghabisi semua simbol Islam, dari negeri yang tersisa Islamnya di Cina. Sebab semua sejarah Islam di Cina sudah banyak dihapus, yang membuat kita tidak paham Wong Fei Hung seorang muslim. Bahwa Kaisar Ming Cina di abad 15 M didominasi oleh gubernur dan jendral muslim hingga melahirkan Cheng Ho.
Saat revolusi Cina oleh Sun Yat Sen tahun 1910 masih ada jendral Cina yang muslim. Dan di tahun 1945 ketika Mao komunis berkuasa, beberapa jendral Cina yang muslim menyelamatkan diri ke Taiwan.
Wong Fei Hung adalah seorang Ulama, Ahli Pengobatan, dan Ahli Beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan Komunis di China.
Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.
Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.
Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.
Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.
Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan Jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang legendaris. Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi.
Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju. Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan Jurus Cakar Macan dan Jurus Sembilan Pukulan Khusus. Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.
Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cobaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek. Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya.
Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya. Wong Fei-Hung wafat dengan meninggalkan nama harum yang membuatnya dikenal sebagai manusia yang hidup mulia.
Gambar : Wong Fei Hung (Muslim guandong Jago Kungfu)