Labbaik Allohumma Labbaik

Labbaik Allohumma Labbaik
Ziarah ke Baitullah

Rabu, 11 Februari 2015

 

PERLAWANAN PETA 1945


Peristiwa yang umumnya kita dengar di kisaran bulan Februari apakah hanya melulu soal Valentine’s Day?
Ternyata tidak!
Di tanggal yang sama, pada 14 Februari, juga terdapat hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Peringatan “Pemberontakan PETA di Blitar 1945”, bagian dari tonggak sejarah perjuangan bangsa melawan penindasan penjajah, yang kemudian mengedepankan sosok pemuda Pahlawan Nasional, Supriyadi.

Hanya saja, di masa sekarang ini, membahas sejarah sangat tidak populer di kalangan muda. Sejarah dianggap kuno, dan identik dengan politik para orang-orang tua. Sejarah dianggap pembicaraan berat, yang hanya layak dilakukan golongan beruban. Sedangkan masa muda, adalah masa bersenang-senang.

Menyelami momentum 14 Februari, bulan cintanya muda-mudi, kita akan melihat seperti apa jalannya sejarah Pemberontakan PETA di Blitar 1945, yang dilakukan seorang muda berumur 22 tahun (lahir 1923), dan rekan-rekannya yang bahkan berumur di bawahnya.
Kita akan melihat kisah cinta, yang menggelora di hati orang muda di Jaman Pendudukan Jepang.




PEMUDA PETA DAN MIMPI MUDANYA

Kedatangan Jepang (1942) memang disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat di Nusantara. Betapa tidak, bangsa dengan postur yang sama dengan kita, bermata sipit, berkulit kuning-coklat, memiliki kesamaan dengan masyarakat Melanesia Nusantara, bandingkan dengan orang-orang Eropa yang mengaku menguasai Nusantara ratusan tahun. Lebih-lebih lagi, bangsa Jepang yang Asia, mampu mengalahkan tentara-tentara Eropa yang hingga saat itu masih terhebat di dunia. Muncullah perasaan kagum pada Jepang di benak masyarakat.

Andaryoko, Pejuang Peta (doc.google)

Para pemuda yang identik dengan semangat dan optimisme tak kalah semaraknya menyambut Jepang. Kesan-kesan heroik yang dibangun Jepang, dan janji-janji Jepang sebagai saudara tua Indonesia, membuat para pemuda berbondong-bondong mendukung Jepang. Sepertinya memang inilah saat kejayaan Nusantara akan bangkit kembali. Maka, ketika Jepang mendirikan organisasi-organisasi seperti: Gerakan Tiga A (1942), Putera (1943), dan  terutama PETA (1943), banyak pemuda yang memasukinya. Anggapannya sederhana, ingin memberi sumbangsih bagi kemerdekaan Indonesia kelak, seperti yang dijanjikan Jepang. Heroik bukan?!

PETA atau Pembela Tanah Air, merupakan pasukan sukarela yang keseluruhannya orang Indonesia, dan dipersiapkan sebagai pasukan cadangan Tentara Dai Nippon. PETA disusun layaknya militer resmi, dengan lima tingkatan: Daidanco (komandan batalyon), cudanco (komandan kompi), shodanco (komandan peleton), bundanco (komandan regu), dan giyuhei (prajurit). Daidanco diangkat dari tokoh-tokoh terkemuka di masyarakat, cudanco dari pegawai pemerintahan dan pemimpin agama, dan shodanco berasal dari para pemuda-pemuda terdidik. (Marwati Djoened, 1993:35)

Para pemuda-pemuda kalangan menengah ke atas, golongan mampu, bangsawan, yang mendapat pendidikan ELS, MULO, ataupun MOSVIA dan OSVIA (setingkat SMP dan SMA, sekitar umur 20 tahun), secara sukarela banyak mendaftar menjadi anggota PETA setingkat shodanco. Menurut G.Moedjanto (1988:80) “mereka sendiri nasibnya tidak begitu sengsara”, tetapi dengan angan-angan indah tentang masa depan Indonesia Merdeka, dan ajakan teman, masuk dan berlatih pada PETA. Menjadi tentara juga kental dengan nuansa heroisme, tidak berbeda dengan orang muda sekarang ini, yang gandrung dengan berbagai aktivitas “heroisme”, dan mengikuti tren gaul.

Hanya saja, bagaimana golongan yang sejahtera tersebut, yang aman dan tenteram, bisa melakukan “pemberontakan” yang terkenal dan menginspirasi masyarakat, bahkan mendapat tepukan salut golongan tua. Bukankah mereka sendiri para pengagum Jepang?



PETA: MEMPERJUANGKAN CINTA

Di depan bilang cinta, ternyata ada udang di balik batu. Siapa yang tak sakit hati bila dikhianati, “ditusuk dari belakang”?! Perasaan inilah yang menebar di kalangan pemuda, di asrama-asrama PETA, khususnya di Daidan (Batalyon) Blitar, Jawa timur.

PETA (doc.google)

Mimpi tentang hebatnya seorang tentara, runtuh ketika pangkat-pangkat di pundaknya tak berarti di depan tentara Jepang yang terendah sekalipun. Perwira-perwira PETA harus tunduk hormat pada bintara dan tamtama Jepang. (Marwati Djoened: 37). Bagi para pemuda di shodan (peleton), hari-hari dilalui dengan pukulan dan perlakuan kasar. Masa-masa para pemuda di asrama Blitar, yang dipinggir jalan, menguak kenyataan. “orang-orang desa kalau lewat depan asrama harus berhenti dan membungkuk. Kalau ada yang lupa membungkuk, langsung dipukul. Padahal rakyat desa… bukannya tidak mau hormat, tapi ya tidak ngerti saja.” (Baskara T. Wardaya, 2008:56).

Dendam semakin membara, ketika para pemuda kembali ke kampung halamannya, setelah pelatihan di asrama. Mereka melihat dan mendengar langsung penuturan sanak-saudaranya tentang perlakuan Jepang. Para petani dipaksa menyerahkan padinya pada kumiai (organisasi pengumpulan padi), sehingga masyarakat hanya makan nasi jagung dan berpakaian goni. (Marwati Djoened: 36). Ditambah lagi cerita-cerita tentang kerja paksa Romusha, juga soal perempuan-perempuan yang dijadikan budak nafsu tentara Jepang.

Sekembalinya dari “pulang kampung”, Shodanco Supriyadi yang tidak jauh usianya dengan kita (22 tahun), menggalang opini di asrama Daidan, Blitar. Mereka harus melakukan perlawanan, pemberontakan, bahkan dituliskan dalam penelitian Baskara T. Wardaya (2008:58) “Berontak aja yuk, mumpung masih muda”, kemudian jawab yang lain “Ya sudah, ayo. Berani nggak? Berani!”. Salah seorang penggagas pemberontakan adalah Shodanco Moeradi yang bahkan belum berumur 20 tahun.

Maka, meletuskan Pemberontakan PETA di Blitar, 14 Februari 1945. Hari yang sama di masa sekarang, dengan Valentine’s Day. Meskipun pemberontakan itu berhasil dikalahkan Tentara Jepang. Namun, gaungnya menyebar di Nusantara, membuat golongan tua yang bekerja sama dengan Jepang terkagum-kagum. Kelak, Supriyadi akan diajukan menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan kemudian Panglima TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pasca proklamasi 1945, bahkan ketika umurnya masih 22 tahun.



BAGAIMANA ORANG MUDA SEKARANG?

Dalam pembicaraan dengan seorang sahabat, yang juga pegawai salah satu instansi terkemuka, tercetuslah ujaran “kita ini mungkin dikatakan para orang tua, young and stupid (muda dan bodoh).” Kata itu terus menggema dalam pemikiran ini. Benarkah menjadi muda itu selalu dipandang sebelah mata? Ataukah ini hasil perilaku kami yang begitu mudah terombang-ambingkan budaya populer, sehingga pemuda memang tergeser dari perjuangan sosial, tak tampak lagi oleh zaman.

Teringat sebuah buku “Mereka Yang Mati Muda” (Arifin Surya Nugraha, dkk, 2008), di masa muda itu tersebutlah: R.A. Kartini (25 Tahun), Robert Wolter Mongonsidi (24), Chaeril Anwar (27), Soe Hok Gie (27). Masih harus ditambah pemuda-pemuda idealis, Moh. Hatta yang tidak akan menikah hingga Indonesia merdeka, Sudirman yang menjadi guru sekaligus Panglima TKR di usia 31 tahun. Tentu masih banyak lagi.

Ketika Valentine’s Day datang, selayaknyalah orang muda merayakan “kasih cinta” kepada mereka yang spesial di hati. Namun, di hari yang sama ingatlah, tentang “kisah cinta” para pemuda PETA, yang mampu melebarkan cintanya bukan pada individu saja, tapi pada sesama yang menderita. Selamat Valentine’s Day, heningkan sejenak dan tarik inspirasi dari Pemberontakan PETA di Blitar 1945.



(Artikel ini suatu usaha mendekatkan cara pikir sejarah yang kontekstual bagi remaja)